Sidang perkara jurnalis Asrul |
Hal itu ditegaskan Herlambang saat bersaksi secara daring sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan perkara UU ITE dengan terdakwa Muh. Asrul di Pengadilan Negeri Palopo, Sulawesi Selatan, Rabu, 8 September 2021.
"Kasus ini jelas sangat premature, belum layak disidangkan, karena berita yang dilaporkan tidak pernah melalui mekanisme penyelesaian sengketa di Dewan Pers sesuai amanat Undang - Undang Pers," ujar Herlambang yang dihadirkan via zoom oleh penasehat hukum Asrul dari LBH Makassar.
Pada sidang yang dipimpin Hasanuddin S.H, M.H sebagai Ketua Majelis Hakim, Herlambang menjelaskan bahwa memperkarakan sebuah berita harus melalui mekanisme khusus yang diatur oleh UU Pers nomor 40 tahun 1999 karena sifatnya lex specialis.
Penegasan UU Pers sebagai lex specialis dikuatkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 13 tahun 2008 dan MoU Polri dan Dewan Pers. Dengan demikian, lanjut Herlambang, menyeret Asrul dengan UU ITE sangatlah keliru.
"Jadi salah besar kalau ada yang memidanakan kegiatan jurnalistik, tanpa mekanisme di Dewan Pers karena ini menyangkut profesi. Keputusan MA juga menguatkan hal itu. Rekomendasi Dewan Pers itu adalah rekomendasi khusus sesuai keputusan MA, tidak bisa ke jalur pidana," jelas Herlambang yang juga Mantan Direktur Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Airlangga.
"Siapapun boleh melaporkan secara pidana, tetapi kalau berhadapan dengan pers maka prosedurnya harus ke dewan pers lebih dulu. Undang-undang ini punya sistem hukum sendiri di luar sistem pidana," tambah Herlambang.
Selain itu, Herlambang menekankan bahwa lembaga peradilan tidak memiliki wewenang untuk menilai apakah sebuah berita telah memenuhi unsur kaidah jurnalistik dan atau jurnalis melanggar kode etik. Penilaian tersebut merupakan domain Dewan Pers.
"Lex spesialis UU Pers diuji dengan kode etik jurnalistik bukan KUHP. Lex specialis UU Pers semakin kuat posisinya diputuskan dalam yurisprudensi MA. Dalam SKB 2021 juga menyebut lex specialis," katanya.
Herlambang juga menyinggung mengenai sebuah berita ketika diposting ke media sosial tidak bisa disangkakan dengan UU ITE, sebab penyebaran berita di medsos melekat dengan kerja-kerja keredaksian perusahaan pers.
Ditanya hakim mengenai ada dua pernyataan penilaian Dewan Pers terhadap berita yang ditulis Asrul, Herlambang menjelaskan, penyidik kepolisian harusnya mengacu pada surat yang kedua sebelum menetapkan Asrul sebagai tersangka UU ITE.
Surat kedua Dewan Pers menyatakan tiga berita yang dilaporkan Kepala BKPSDM Palopo, Farid Kasim Judas, adalah produk jurnalistik.
"Sesuai azas hukum, produk yang paling mengikat adalah yang terbaru. Penyidik kepolisian harusnya memakai surat yang kedua itu sebagai pertimbangan sebelum melanjutkan perkara ini," tegas dia.
Sertifikat dan Verifikasi Bukan Acuan
Dalam sidang yang berlangsung kurang-lebih 4 jam tadi, Herlambang menerangkan bahwa sertifikat kompetensi wartawan tidak bisa menjadi acuan untuk menyatakan seseorang tidak berkompeten dalam kerja-kerja jurnalistik.
"Sertifikasi itu prosesnya panjang, ada tahapan - tahapannya, juga diuji. Belum tentu yang tidak bersertifikat tidak berkompetensi, itu hanya formalitas. Sekali lagi, sertifikat tidak menggugurkan kedudukannya sebagai seorang jurnalis yang bekerja di perusahaan berbadan hukum," ujar Herlambang.
Begitu juga dengan perusahaan media yang belum terverifikasi secara administrasi dan faktual oleh Dewan Pers. Menurut Herlambang, terverikasi atau tidaknya sebuah media tidak menggugurkan statusnya sebagai perusahaan pers berbadan hukum.
Mengenai penjelasan atau konfirmasi kepada pihak yang diberitakan, yang membuat Asrul dilapor ke polisi, menurut Herlambang seorang jurnalis yang tidak mendapat konfirmasi dari narasumber merupakan hal jamak terjadi dalam jurnalisme.
"Khususnya narsum kasus korupsi dan perusakan lingkungan sangat sulit dikonfirmasi. Tapi, jurnalis harus memastikan memang telah melakukan upaya konfirmasi," terang dia.
Sementara, tim penasihat hukum Asrul dari LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa, menjelaskan bahwa kesaksian Herlambang yang juga dikenal sebagai ahli hukum tata negara, menguatkan pembelaan mereka bahwa dakwaan UU ITE terhadap Asrul adalah keliru.
"Apa yang diterangkan oleh ahli menguatkan bahwa pokok perkara yang didakwakan kepada Asrul adalah keliru. Seharusnya perkara ini diselesaikan melalui sengketa di Dewan Pers menggunakan UU Pers karena lex specialis," ujar Azis usai persidangan didampingi tim PH lainnya Andi Ikra Rahman, dan Mulya Sarmono.
Diketahui, sidang kasus UU ITE yang menjerat jurnalis Asrul sudah berlangsung selama 6 bulan di Pengadilan Negeri Palopo. Persidangan perkara ini berlarut - larut disebabkan jaksa penuntut umum kerap tak bisa menghadirkan saksi sehingga sidang kerap ditunda.