Iklan

Iklan

,

Iklan

A D V E R T I S E M E N T

Diduga Langgar Hukum Formil, Frans Lading Praperadilankan Polres Luwu Utara

Ricdwan Abbas
14 Des 2021, 15:45 WITA Last Updated 2021-12-14T12:13:59Z
A D V E R T I S E M E N T

Frans Lading, SH., MH,
Infokitasulsel.com, Palopo - Proses penetapan sebagai tersangka yang diduga melanggar hukum Formil dan melakukan perbuatan yang dituduhkan Polres Luwu Utara, Frans Lading, S.H., M.H, bertindak sebagai kuasa hukum para tersangka.


Kepada Infokitasulsel.com, Frans Lading membenarkan hal tersebut. Menurut Frans, dirinya bertindak sebagai kuasa hukum dari para tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat 2 ke 3.


"Para tersangka dan seluruh rumpun keluarga sepakat melakukan Praperadilan atas penetapan tersangka terhadap klien karena diduga banyak kesalahan penerapan hukum formil yang dilakukan oleh Penyidik Polres Luwu Utara," kata Frans.


Frans menjelaskan, kliennya mengaku kasus yang ditudingkan Polres Luwu Utara tidak sesuai dengan penyebab meninggalnya si korban. Pengakuan tersangka, korban murni meninggal akibat laka lantas.


"Awalnya klien saya itu ditangkap, dituduh pelaku pembunuhan, padahal menurut pernyataan klien saya penyebab meninggalnya korban bukan karena penganiayaan tapi murni laka lantas di Baebunta dinda," jelasnya.


Proses hukum yang dilakukan penyidik pun menurut Frans, sedari awal diduga sudah tidak sesuai asas peradilan. Bagaimana mungkin melanjutkan proses hukum jika titik awal penyelidikan dan penyidikan sudah terdapat kesalahan.


"Bagaimana bisa melanjutkan suatu proses hukum jika dari awal ada kesalahan, contoh kecilnya saja adalah Penyidik memeriksa saksi sampai tersangka itu tidak memakai surat panggilan, hanya melalui telepon katanya. Dan sampai sekarang, surat panggilan tidak ada didapatkan oleh klien maupun keluarga klien saya," pungkasnya.


Sementara, standar operasional prosedur (SOP) perkara sudah diatur dalam Undang-undang Pasal 17 Ayat 2 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


"Padahal sudah jelas dalam SOP Penyidikan Pasal 17 Ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang tegas menyebutkan "Pemanggilan Terhadap Tersangka/ Saksi/ Ahli Dilakukan Sesuai Dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan" dan juga dipertegas dalam KUHAP khususnya yang berbunyi: "Semua Jenis Pemberitahuan atau Panggilan Oleh Pihak yang Berwenang dalam Semua Tingkat Pemeriksaan Kepada Terdakwa, Saksi atau Ahli Disampaikan Selambat-lambatnya Tiga (3) Hari Sebelum Tanggal Hadir yang Ditentukan di Tempat Tinggal Mereka atau di Tempat Kediaman Mereka Terakhir". Jelasnya.


Lanjut Frans, sudah jelas terlampir aturan yang seharusnya jadi pedoman penyidik Polres Luwu Utara melakukan tindakan hukum terhadap terlapor atau tersangka tersebut.


"Harusnya Penyidik Polres Luwu Utara memberikan waktu minimal 3 (tiga) hari kepada terlapor/tersangka untuk mempersiapkan dokumen-dokumen terkait proses pemberian keterangan sebagai saksi," ucapnya.


Frans Lading sangat menyayangkan tindakan penyidik Luwu Utara yang sama sekali tidak memberikan SPDP kepada terlapor, dalam hal ini tersangka ataupun keluarganya. Padahal menurut Frans, itu perintah Undang-undang.


"Ini saya sampaikan karena menurut pengakuan tersangka ke saya dan keluarganya bahwa mereka sama sekali tidak diberikan SPDP. Bahkan, menurut pengakuan keluarga tersangka, anaknya diperiksa hanya melalui telepon tanpa surat resmi," ungkapnya.


Frans juga menjelaskan bahwa Putusan MK tersebut juga sejalan dengan Pasal 14 Ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang Tegas Menyebutkan "SPDP Sebagaimana Dimaksud Dalam pasal 13 Ayat (3) Dikirimkan Kepada Penuntut Umum, Pelapor/ Korban dan Terlapor dalam Waktu Paling Lambat 7 (tujuh) Hari Setelah Diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan". Ucapnya.


Perihal itu, Frans menegaskan SPDP wajib diberikan oleh penyidik, namun sampai saat ini, SPDP tersebut belum juga terlihat dan sampai ke pihak terlapor/tersangka ataupun pada keluarga terlapor.


"Bahwa pada faktanya, Penyidik sampai sekarang belum memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada tersangka maupun kepada keluarganya. Bahwa  sebagai terlapor dan yang menjadi kewajiban dari Penyidik Polres Luwu Utara wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP tersebut kepada terlapor paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan".

"Seperti diketahui bahwa Surat Perintah Penyidikan diterbitkan pada Tanggl 27 November, jadi kita menghitung tanggal normal harusnya paling lambat tanggal 4 Desember SPDP itu di beritahukan oleh Penyidik kepada Terlapor atau keluarganya, namun pada faktanya hingga detik ini kami belum pernah melihat SPDP itu," bebernya.


Lanjutnya menegaskan, ia akan bersurat ke Polda Sulsel bahkan Mabes Polri untuk mengungkap kejanggalan di Praperadilan nanti dan meninjau kinerja Polres Luwu Utara. Sesuai kata Kapolri, jangan coba-coba mempermainkan Hukum.


"Menurut kami masih ada beberapa kejanggalan yang kami akan ungkap dalam Praperadilan nanti, kami akan bersurat Ke Karo Wassidik Mabes Polri, Wassidik Polda Sul-Sel, Kadiv Propam Mabes Polri dan Propam Polda Sul-Sel agar perkara ini menjadi fokus untuk menelah kinerja penyidik Polres Luwu Utara. Seperti yang dikatakan Kapolri jangan coba-coba mempermainkan Hukum, kedepankan asas equality before the law," tegas pengacara Frans Lading, S.H., M.H.

Iklan

               
         
close