Iklan

Iklan

,

Iklan

A D V E R T I S E M E N T

Harmoni yang Terganggu di Toraja: Konflik Kekerabatan dan Bahaya Pewarisan Luka Sosial

Redaksi
11 Des 2025, 08:46 WITA Last Updated 2025-12-11T01:00:07Z
Ist

Oleh: Dr. Kristian H. P. Lambe, Dosen UKI Paulus Makassar


Konflik kekerabatan yang terjadi di Tongkonan Ka’pun, Kecamatan Kurra, Tana Toraja, adalah cerminan nyata bagaimana ketidakharmonisan internal sebuah keluarga besar dapat merusak stabilitas sosial dan budaya komunitas adat. Suasana damai dan sejahtera yang seharusnya menjadi ciri khas masyarakat Toraja kini terancam oleh hubungan antaranggota keluarga yang berada dalam kondisi tegang dan tidak harmonis. Ketegangan berkepanjangan ini mengindikasikan bahwa persoalan yang muncul telah menyentuh dimensi emosional, genealogis, dan struktural dalam komunitas tongkonan.


Dampak Konflik: Mencederai Adat dan Mewariskan Luka


Titik sensitif konflik ini berpusat pada pelaksanaan eksekusi terhadap suatu keputusan, yang hanya bisa dihentikan jika kedua pihak mencapai kesepakatan damai. Tanpa dialog dan kesediaan untuk saling memahami, potensi perpecahan akan semakin membesar, menyulitkan tercapainya titik temu yang konstruktif.


Jika konflik ini terus dibiarkan tanpa penyelesaian yang memadai, dampaknya akan merambat luas. Secara sosial, hubungan antaranggota tongkonan akan semakin renggang, mengganggu komunikasi, dan mengancam kegiatan adat yang sangat bergantung pada kebersamaan. Dalam konteks budaya, ketegangan ini mencederai nilai-nilai luhur masyarakat Toraja, seperti siri’ (harga diri), pesse (kepedulian), dan patut (kewajaran), yang selama ini menjadi pilar tatanan hidup bersama.


Namun, dampak paling serius adalah potensi pewarisan luka sosial kepada anak-cucu. Generasi muda bisa mewarisi rasa tidak nyaman, keterbelahan, atau bahkan permusuhan yang tidak mereka ciptakan, namun harus mereka tanggung sebagai bagian dari identitas keluarga. Jika retaknya hubungan kekerabatan ini berlangsung lintas generasi, maka struktur sosial tongkonan secara keseluruhan akan melemah.


Pelaksanaan eksekusi tanpa kesepakatan damai hanya akan memperburuk situasi, memunculkan rasa tidak puas dan luka batin yang dapat berkembang menjadi permusuhan berkepanjangan. Kewibawaan tongkonan sebagai pusat identitas sosial pun akan menurun di mata masyarakat dan generasi mendatang.


Solusi Adat: Kembali ke 'Ma’kombongan'


Penyelesaian konflik ini harus ditempuh melalui mekanisme adat yang diwariskan leluhur. Dalam tradisi Toraja, segala perkara, baik kecil maupun besar, seharusnya diselesaikan melalui ma’kombongan forum musyawarah keluarga dan komunitas yang mengedepankan dialog, kebijaksanaan, dan pencarian mufakat. Sengketa seharusnya tidak perlu sampai ke meja hijau atau melalui proses hukum yang panjang.


Prinsip penyelesaian damai ini sejalan dengan falsafah Toraja yang sangat dikenal: “Misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate” (Bersatu kita kuat, tercerai-berai kita rapuh dan hancur).


Falsafah ini menegaskan bahwa kekuatan komunitas Toraja terletak pada semangat kebersamaan, pengambilan keputusan kolektif, dan penghormatan terhadap konsensus. Ketika forum ma’kombongan dihidupkan kembali, konflik yang tampak rumit dapat menemukan titik damai melalui kesediaan untuk saling mendengar, menghargai, dan mengampuni.


Peran Strategis Pemerintah, Adat, dan Gereja


Upaya penyelesaian konflik ini membutuhkan kolaborasi strategis dari berbagai pihak:


  1. Pemerintah Daerah: Harus memfasilitasi proses mediasi secara adil, memastikan keamanan selama proses berlangsung, serta memberikan pendampingan administratif maupun hukum jika diperlukan.

  2. Gereja: Sebagai lembaga moral dan spiritual, Gereja memegang peran penting dalam menenangkan emosi, menanamkan nilai kasih, dan mengarahkan kedua pihak untuk memilih jalan rekonsiliasi yang sejalan dengan ajaran iman.

  3. Lembaga Adat: Harus mengedepankan mekanisme ma’kombongan dan memastikan nilai-nilai luhur Toraja tetap menjadi landasan utama penyelesaian.


Sinergi antara nilai-nilai adat, hukum positif, dan arahan gereja dapat menghasilkan penyelesaian yang komprehensif dan berkelanjutan.


Selain itu, pembinaan terhadap generasi muda juga menjadi bagian tak terpisahkan. Anak-anak dan cucu harus diberikan pemahaman bahwa persaudaraan lebih penting daripada kemenangan dalam konflik. Mereka perlu diajarkan nilai-nilai kebersamaan, saling menghargai, serta pentingnya menjaga kehormatan tongkonan sebagai pusat identitas keluarga.


Peristiwa di Tongkonan Ka’pun seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh tongkonan di wilayah Toraja. Konflik ini menunjukkan bahwa perpecahan internal tidak hanya merugikan satu keluarga besar, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas adat secara lebih luas.


Dengan komitmen bersama, pelestarian nilai adat, serta dukungan gereja dan pemerintah daerah, Tongkonan Ka’pun memiliki peluang besar untuk memulihkan keharmonisan yang terganggu. Kiranya peristiwa ini dapat menjadi titik balik yang memperkuat solidaritas antartongkonan di Toraja, sehingga generasi mendatang dapat mewarisi kehidupan yang damai, harmonis, dan bermartabat.


Kurre Sumanga’.

Iklan

               
         
close