![]() |
Praktisi hukum Kurniawan Rante Bombang, S.H., M.H., CMLC (Ist) |
Oleh: Kurniawan Rante Bombang, S.H., M.H., CMLC
Kasus eksekusi tanah adat, rumah Tongkonan di Toraja kembali mengemuka, menimbulkan pro dan kontra tentang benturan antara hukum negara dan hukum adat. Di satu sisi, ada keharusan untuk menegakkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Di sisi lain, masyarakat adat berjuang mempertahankan warisan leluhur yang tak ternilai, yang dianggap sebagai fondasi identitas dan eksistensi mereka.
Menurut praktisi hukum Kurniawan Rante Bombang, S.H.,M.H.,CMLC, Sebagaimana dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945: Menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karenanya setiap orang punya hak untuk menggugat. Ini adalah prinsip dasar dalam sistem hukum yang dikenal sebagai hak untuk mengakses keadilan (right to access to justice). Hak yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.
Juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada hukum atau hukumnya kurang jelas. Ini berarti pengadilan wajib menerima setiap gugatan yang diajukan, sepanjang memenuhi syarat yang telah diatur.
Pandangan saya dari kacamata hukum positif, suatu perkara perdata, putusan pengadilan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) tentu harus dilaksanakan. Pasal 195 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dengan jelas mengatur prosedur eksekusi, yang memberikan kewenangan kepada Ketua Pengadilan untuk memerintahkan dan memimpin eksekusi putusan perdata. Secara hukum acara perdata, eksekusi putusan pengadilan yang telah inkracht adalah perintah wajib. Pasal 197 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menggunakan paksaan, termasuk alat berat, jika pihak yang kalah tidak mau mengosongkan objek sengketa.
Bahwa Putusan pengadilan tentang eksekusi (misalkan objek sengketa terdapat bangunan) haruslah dilaksanakan karena eksekusi adalah tahap akhir dan terpenting dalam proses peradilan. Hal tersebut untuk Mewujudkan Kepastian Hukum, Menjaga Kewibawaan dan Kredibilitas Lembaga Peradilan, Eksekusi Sebagai Sanksi Hukum, dan Melindungi Hak Pihak yang Menang. Karena apabila Putusan pengadilan hanya tertulis saja dan jika pihak yang kalah menolak untuk menyerahkan objek sengketa. Sehingga harus ada Eksekusi riil di lapangan, yang sering kali melibatkan pengosongan lahan, memastikan bahwa hak kepemilikan yang sah dapat dipulihkan.
Kemudian, jika melihat dari kacamata adat budaya, pada konteks sengketa tanah rumah tongkonan, dalam beberapa kasus di toraja belakangan ini termasuk juga pengalaman menangani Perkara model gini, masalahnya tidak sesederhana itu. Menurut saya, ini Dilema Penegakan Hukum: antara Kepastian vs. Keadilan Substantif.
Rumah adat Tongkonan bukanlah objek sengketa biasa. Karena Rumah adat Tongkonan Toraja melekat simbol status sosial, pusat upacara adat, yang dimiliki secara komunal.
Kepemilikan rumah Tongkonan ini kan terkait erat dengan sistem kekerabatan dan hak ulayat yang diakui dalam hukum adat Toraja.
Apabila Rumah Tongkonan dianggap sebagai bangunan biasa, maka dalam sebuah konflik sengketa hukum, mengeksekusi Rumah tongkonan dengan alat berat bisa dianggap sebagai prosedur yang sah secara hukum.
Akan TETAPI, dari sudut pandang budaya toraja, hal ini dapat mengabaikan dimensi hak ulayat dan kepemilikan komunal yang diakui dalam Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Dari perspektif budaya, rumah adat Tongkonan menyimpan cerita, silsilah keluarga, dan ritual adat yang tak ternilai harganya. Ia adalah pusat dari aluk to dolo (agama dan kepercayaan leluhur) dan menjadi tempat kegiatan acara rambu tuka' dan rambu solo', tempat penyimpanan harta pusaka serta keranda leluhur.
Mengeksekusi Rumah adat Tongkonan dengan alat berat bukan hanya melenyapkan sebuah bangunan fisik, tetapi juga menghapus sejarah, memutus silsilah, dan meruntuhkan fondasi spiritual sebuah keluarga besar.
Coba kita renungkan ya,! Misalkan Sebuah Tongkonan A, dalam prosesnya secara umum ya, dimulai dari perencanaan, pendirian hingga peresmian, kesemuanya itu kan punya tahapan dan tingkatan yang harus dilalui dan itu membutuhkan pengorbanan yang besar dan sangat sakral. Bahkan untuk mencapai puncak tertinggi sebuah tongkonan yang telah terlegitimasi disebut merok/merauk (sebutan di beberapa wilayah adat di toraja) atau telah melakukan adat Rampe Matampu, Rampe MataAllo – Rambu Solo’ - Rambu Tuka’ (Dukacita & Sukacita) disclaimer.
Lalu di kemudian hari muncul Konflik atau Sengketa di Pengadilan yang akhirnya harus di eksekusi. Hanya dengan hitungan jam saja, dirobohkan oleh alat berat. Sebagai masyarakat toraja, tentu tindakan ini bisa dianggap sebagai penistaan terhadap nilai-nilai budaya dan harkat martabat masyarakat adat Toraja.
Dampaknya sama dengan menghancurkan warisan budaya, sejarah, dan identitas.
Kerusakan yang ditimbulkan bersifat permanen dan tidak dapat diganti hanya dengan uang, karena didalamnya telah melalui proses ritual adat, doa, tenaga, pikiran dan cinta kasih. Dan itu dirasakan oleh seluruh komunitas adat yang melihat Rumah Tongkonan sebagai bagian tak terpisahkan dari simbol dan nilai eksistensi masyarakat adat Toraja. (itu terlepas dari para pihak yang memperebutkan haknya).
Dari sisi lain, saya menilai bahwa sebenarnya pihak yang bersengketa tentang hak tongkonan ini, erat juga kaitannya dengan egosentrisme, persoalan perebutan hak dalam sebuah rumpun keluarga yang bersengketa, ini juga yang susah dibendung. Dimana tanpa kesadaran moral dan etika ada objek yang melibatkan budaya (simbol rumah adat yang dilindungi bersama) melekat nilai luhur yang dimiliki semua orang Toraja, (bukan hanya pihak yang bersengketa).
Tentunya jika hal ini tidak dicarikan solusi akan merendahkan nilai dan simbol-simbol pada sebuah rumah adat tongkonan. Ini menarik untuk dikaji secara mendalam. Hal tersebut dapat dibicarakan bersama oleh Lembaga adat, tokoh masyarakat, DPRD, Pemerintah daerah, diaspora toraja, dan Tokoh Gereja.
Sebagai Praktisi Hukum, putra asli toraja, tentu prihatin dan berharap kedepan kiranya dapat dipertimbangkan kepada setiap stake holder terkait untuk menyelesaikan masalah ini, dibutuhkan pendekatan holistik dan dialog konstruktif yang mengedepankan mediasi, pengakuan hak ulayat, dan (harmonisasi hukum negara dengan hukum adat, ini perlu perjuangan ekstra dan dengan melibatkan pihak-pihak terkait).
Aparat penegak hukum perlu memiliki kepekaan budaya yang tinggi, dan putusan pengadilan diharapkan mempertimbangkan dampak sosial, budaya, dan spiritual yang mungkin timbul, demi mewujudkan keadilan yang seutuhnya.
Beberapa langkah juga bisa ditempuh jika telah bersengketa:
1. Mediasi yang Berbasis Kearifan Lokal: Sebelum masuk pada Litigasi, perlu ada upaya mediasi yang serius dengan melibatkan para pemangku kepentingan adat, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah;
2. Diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan harmonis antara hukum negara dan hukum adat;
3. Mediasi Berbasis Adat: dengan melibatkan pemangku adat dan tokoh masyarakat. Pihak yang memenangkan perkara harus memahami nilai sakral Tongkonan.
4. Ganti Rugi Alternatif;
5. Sertifikasi Hak Komunal: Secara jangka panjang, sertifikatkan tanah Tongkonan atas nama yayasan atau badan hukum adat;
6. Advokasi Hukum: Pihak keluarga harus menggunakan argumen hukum yang kuat di pengadilan, seperti mengajukan gugatan intervensi atau perlawanan pihak ketiga, untuk membuktikan status komunal Tongkonan.